Rabu, 11 Juni 2014

Kisah anak tukang becak lulus dengan IPK 3,96

(foto: unnes.co.id - credit Lintang Hakim)
Sumber: (foto: unnes.co.id - credit Lintang Hakim)
Menggetarkan hati dan menggeliatkan air mata simpati setelah saya membaca artikel ini. Sebuah artikel yang memotret betapa bangganya seoarang wisudawan ber-IPK 3,96 diantar ayahnya yang tukang becak menghadiri wisuda di Univeritas Negri Semarang (UNNES). Betapa perjuangan seorang ayah yang cuma tukang becak dibalas indah oleh anaknya. Dengan rasa tidak sungkan diantar langsung dengan becak ayahnya, si putri diantar menuju tempatnya wisuda. Dan dengan kejujuran dan keihlasan, sang ayah dengan raut wajah bangga mengantar putrinya dengan becak. Betapa luhur budi bakti si putri pada ayahnya. Dan betapa bangga si ayah pada putri yang sudah meluhurkan keluarga dengan prestasinya.
Perhatian para keluarga wisudawan dan puluhan wartawan langsung tersita pada Raeni, Selasa (10/6). Pasalnya, wisudawan dari Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Unnes ini berangkat ke lokasi wisuda dengan kendaraan yang tidak biasa. Penerima beasiswa Bidikmisi ini diantar oleh ayahnya, Mugiyono, menggunakan becak. (berita: unnes.ac.id)
Semua Berawal Dari Rumah
Saya sangat meyakini kalau pendidikan semua berasal dari rumah. Semua hal yang disebut IQ, EQ, atau pun SQ sulit rasanya dicapai disekolah. Atau malah dicari di institusi pendidikan lain seperti Bimbel, Taman Pengajian, atau malah Sekolah Etika sekalipun. Dirumahlah semua pendidikan dimulai. Semua untuk memenuhi bekal hidup seorang anak di jamannya sendiri. Orangtualah yang patut disebut guru sejati seorang anak. Bentukan dan karakter keluargalah yang menjadikan anak unggul di luar rumah.
Raeni yang notabene berasal dari keluarga kurang mampu berhasil membuktikan diri menjadi pribadi yang unggul. Ayahnya yang hanya seorang tukang becak tidak menyurutkan diri menjadi pribadi unggul.  Keluarganya yang memang apa adanya, malah membuatnya bangga. Ayahnya dengan becaknya mengantarkan dirinya wisuda. Rasa jujur dan ikhlas berbakti pada keluarga tidak ingin dia ingkari dengan rasa gengsi dan malu. Raeni berdiri jujur dan apa adanya. Dan ini yang saya rasa merefleksikan, bahwa masih ada generasi unggul di Indonesia.
Bukan hanya dari kelurga yang mampu menyekolahkan anak di sekolah-sekolah internasional. Sehingga menelurkan generasi yang mengeyam semua fasilitas dan pra-sarana yang bias dipenuhi. Anak-anak yang selalu didukung financial yang cukup bahkan lebih. Dan saya fikir sudah cukup banyak dari keluarga kaya dengan anak-anak berprestasi. Dukungan keluarga plus dana yang cukup baik, wajar menjadikan mereka unggul.
Sekaligus, kisah Raeni ini mengabarkan bahwa keluargalah yang terpenting buat anaknya. Kadang anak dari kelurga kaya atau mampu pun malah keblangsak. Anak-anak mereka tidak jadi apapun kecuali menyusahkan orangtuanya. Pola asuh waktu kecil dan pola didik saat tumbuh semua diserahkan pada pihak lain. Anak mereka diasuh asisten rumah tangga atau orang lain. Pola didik dipasrahi sekolah dan guru. Merasa yakin mereka tumbuh dengan baik, orangtua sering cuek dan tutup mata pada apa yang ada pada anak. Mereka pun sibuk dengan kerja dan mencari uang.

Terbukti, kisah Raeni menjawab kesangsian mahasiswa miskin tidak layak sekolah. Sebaliknya, dengan taraf ekonomi yang apa adanya dengan ketekunan mencari dan menjalani Beasiswa serta konsistensi dalam berbakti dan studi, ia berhasil menjadi unggul. Menjadi pribadi yang unggul dengan kejujuran, ketekunan, dan bakti penuh pada orangtua. Orang yang telah dengan baik mendidiknya. Semua berawal dari rumah.

"Selepas lulus sarjana, saya ingin melanjutkan kuliah lagi. Pengin-nya melanjutkan (kuliah) ke Inggris. Ya, kalau ada beasiswa lagi," kata gadis yang bercita-cita jadi guru tersebut seperti dikutip dari situs resmi Universitas Negeri Semarang, http://unnes.ac.id, Rabu (11/6).
Raeni menunjukkan tekad baja agar bisa menikmati masa depan yang lebih baik dan membahagiakan keluarganya. Mugiyono, ayah Raeni mengaku hanya bisa mendukung putri bungsunya itu untuk berkuliah agar bisa menjadi guru sesuai dengan cita-citanya.

"Sebagai orang tua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun dini dari perusahaan kayu lapis agar mendapatkan pesangon," kata pria yang mulai menggenjot becak sejak 2010 itu.////

Teman - teman semunya, dengan kisah ini seharus kita makin semangat untuk belajar membuat prestasi yang gemilang tidak ada alasan untuk kita diam atau pasrah. generasi kita harus lebih baik dari generasi sebelumya. pemimpin sekarang harus lebih baik dari pemimpin sebelumnya dan pemimpin besok harus lebih baik dari pemimpin hari ini. Semngat & thanks buat Raeni. Anda telah membakar lagi semangat ini hingga memerah dan tetap memerah. sukses buat kita semua. amin


>