Sumber: (foto: unnes.co.id - credit Lintang Hakim)
Menggetarkan
hati dan menggeliatkan air mata simpati setelah saya membaca artikel
ini. Sebuah artikel yang memotret betapa bangganya seoarang wisudawan
ber-IPK 3,96 diantar ayahnya yang tukang becak menghadiri wisuda di
Univeritas Negri Semarang (UNNES). Betapa perjuangan seorang ayah yang
cuma tukang becak dibalas indah oleh anaknya. Dengan rasa tidak sungkan
diantar langsung dengan becak ayahnya, si putri diantar menuju tempatnya
wisuda. Dan dengan kejujuran dan keihlasan, sang ayah dengan raut wajah
bangga mengantar putrinya dengan becak. Betapa luhur budi bakti si
putri pada ayahnya. Dan betapa bangga si ayah pada putri yang sudah
meluhurkan keluarga dengan prestasinya.
Perhatian
para keluarga wisudawan dan puluhan wartawan langsung tersita pada
Raeni, Selasa (10/6). Pasalnya, wisudawan dari Jurusan Pendidikan
Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Unnes ini berangkat ke lokasi wisuda
dengan kendaraan yang tidak biasa. Penerima beasiswa Bidikmisi ini
diantar oleh ayahnya, Mugiyono, menggunakan becak. (berita: unnes.ac.id)
Semua Berawal Dari Rumah
Saya
sangat meyakini kalau pendidikan semua berasal dari rumah. Semua hal
yang disebut IQ, EQ, atau pun SQ sulit rasanya dicapai disekolah. Atau
malah dicari di institusi pendidikan lain seperti Bimbel, Taman
Pengajian, atau malah Sekolah Etika sekalipun. Dirumahlah semua
pendidikan dimulai. Semua untuk memenuhi bekal hidup seorang anak di
jamannya sendiri. Orangtualah yang patut disebut guru sejati seorang
anak. Bentukan dan karakter keluargalah yang menjadikan anak unggul di
luar rumah.
Raeni yang
notabene berasal dari keluarga kurang mampu berhasil membuktikan diri
menjadi pribadi yang unggul. Ayahnya yang hanya seorang tukang becak
tidak menyurutkan diri menjadi pribadi unggul. Keluarganya yang memang
apa adanya, malah membuatnya bangga. Ayahnya dengan becaknya
mengantarkan dirinya wisuda. Rasa jujur dan ikhlas berbakti pada
keluarga tidak ingin dia ingkari dengan rasa gengsi dan malu. Raeni
berdiri jujur dan apa adanya. Dan ini yang saya rasa merefleksikan,
bahwa masih ada generasi unggul di Indonesia.
Bukan
hanya dari kelurga yang mampu menyekolahkan anak di sekolah-sekolah
internasional. Sehingga menelurkan generasi yang mengeyam semua
fasilitas dan pra-sarana yang bias dipenuhi. Anak-anak yang selalu
didukung financial yang cukup bahkan lebih. Dan saya fikir sudah cukup
banyak dari keluarga kaya dengan anak-anak berprestasi. Dukungan
keluarga plus dana yang cukup baik, wajar menjadikan mereka unggul.
Sekaligus,
kisah Raeni ini mengabarkan bahwa keluargalah yang terpenting buat
anaknya. Kadang anak dari kelurga kaya atau mampu pun malah keblangsak.
Anak-anak mereka tidak jadi apapun kecuali menyusahkan orangtuanya. Pola
asuh waktu kecil dan pola didik saat tumbuh semua diserahkan pada pihak
lain. Anak mereka diasuh asisten rumah tangga atau orang lain. Pola
didik dipasrahi sekolah dan guru. Merasa yakin mereka tumbuh dengan
baik, orangtua sering cuek dan tutup mata pada apa yang ada pada anak.
Mereka pun sibuk dengan kerja dan mencari uang.
Terbukti,
kisah Raeni menjawab kesangsian mahasiswa miskin tidak layak sekolah.
Sebaliknya, dengan taraf ekonomi yang apa adanya dengan ketekunan
mencari dan menjalani Beasiswa serta konsistensi dalam berbakti dan
studi, ia berhasil menjadi unggul. Menjadi pribadi yang unggul dengan
kejujuran, ketekunan, dan bakti penuh pada orangtua. Orang yang telah
dengan baik mendidiknya. Semua berawal dari rumah.
"Selepas lulus sarjana, saya ingin melanjutkan kuliah lagi. Pengin-nya
melanjutkan (kuliah) ke Inggris. Ya, kalau ada beasiswa lagi," kata
gadis yang bercita-cita jadi guru tersebut seperti dikutip dari situs
resmi Universitas Negeri Semarang, http://unnes.ac.id, Rabu (11/6).
Raeni menunjukkan tekad baja agar bisa menikmati masa depan yang lebih baik dan membahagiakan keluarganya. Mugiyono, ayah Raeni mengaku hanya bisa mendukung putri bungsunya itu untuk berkuliah agar bisa menjadi guru sesuai dengan cita-citanya.
"Sebagai orang tua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun dini dari perusahaan kayu lapis agar mendapatkan pesangon," kata pria yang mulai menggenjot becak sejak 2010 itu.////
Raeni menunjukkan tekad baja agar bisa menikmati masa depan yang lebih baik dan membahagiakan keluarganya. Mugiyono, ayah Raeni mengaku hanya bisa mendukung putri bungsunya itu untuk berkuliah agar bisa menjadi guru sesuai dengan cita-citanya.
"Sebagai orang tua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun dini dari perusahaan kayu lapis agar mendapatkan pesangon," kata pria yang mulai menggenjot becak sejak 2010 itu.////
Teman - teman semunya, dengan kisah ini seharus kita makin semangat untuk belajar membuat prestasi yang gemilang tidak ada alasan untuk kita diam atau pasrah. generasi kita harus lebih baik dari generasi sebelumya. pemimpin sekarang harus lebih baik dari pemimpin sebelumnya dan pemimpin besok harus lebih baik dari pemimpin hari ini. Semngat & thanks buat Raeni. Anda telah membakar lagi semangat ini hingga memerah dan tetap memerah. sukses buat kita semua. amin